Pengantar Redaksi
Jurnal BHUMI yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional mulai tahun 2015 ini memiliki deskripsi lebih luas menjadi ‘BHUMI, Jurnal Agraria dan Pertanahan’. Didalamnya ditambahkan kata ‘agraria’. Jurnal ini memuat karangan ilmiah dalam bentuk hasil penelitian, tinjauan teori dan konsep, serta tinjauan buku bertemakan agraria dan pertanahan. Perubahan deskripsi ini memiliki maksud penegasan bahwa dengan penambahan kata tersebut secara ontologis kajian Bhumi mencakup apa yang secara formal disebut dalam UUPA 1960 dengan kata ‘agraria’ sebagai penerjemahan dari Konstitusi pasal 33 ayat 1 UUD 1945, yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Telaah obyek material ‘pertanahan dan agraria’ dilakukan melalui kajian teknis, adminsitratif dan manajemennya, perpetaan, tata ruang, kajian hukum, dan secara luas melalui kajian ilmu sosial, sejarah dan budaya. Hal ini tidak terlepas dari bangun pengetahuan yang ingin dikembangkan oleh Jurnal Bhumi ini berupa kajian pertanahan dan agraria secara multidimensional, serta memahami bahwa soal tanah dan agraria adalah lebih merupakan persoalan manusia ketimbang soal alam itu sendiri. Oleh karena itu tulisan-tulisan yang tersaji didalamnya tidak dibingkai oleh topik serta disiplin ilmu tertentu, namun mencakup semua isu pertanahan dan agraria yang kami anggap relevan.
Arah perubahan di atas memerlukan beberapa penyesuaian teknis seperti penomoran edisi jurnal, standardisasi penulisan, dan beberapa perubahan teknis lainnya. Pada edisi ini kami memulainya dengan Volume 1, Nomor 1, Mei 2015. Edisi kali ini memuat sepuluh tulisan yang merupakan hasil penelitian, telaah gagasan, dan tinjauan buku.
Dari tulisan Anton Novenanto kita disodori analisa bahwa proses ganti rugi pelepasan tanah melalui berbagai proses dan mekanisme tidak mampu mengganti ‘kehilangan’ yang ditimpa oleh masyarakat yang semula hidup di atas tanah tersebut. Administrasi pertanahan (dan pihak appraisal) hanya ma(mp)u menjangkau pemahaman hubungan tanah dengan masyarakat sebagai hubungan ekonomi semata, sehingga nilai ganti rugi tersebut menafikan aspek kehilangan hubungan sosial-kultural dan historis. Akibat lanjutannya, tindakan mengganti rugi korban secara substantif bukan lagi berupa kewajiban kompenasi, namun dapat jatuh pada tindakan jual beli atas tanah antara negara atau swasta dengan pemilik tanah yakni masyarakat. Demikianlah yang dihasilkan dari kajian mengenai kompensasi terhadap masyarakat yang terkena semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta mempengaruhi secara mendasar masalah pertanahan di Yogyakarta. Penetapan Kasultanan/Kadipaten (Pakualaman) sebagai badan hukum khusus dengan sebutan Badan Hukum Warisan dinyatakan dapat memiliki tanah. Dalam kajian Kus Antoro ini, digaris-bawahi bahwa badan hukum tersebut bersifat swasta (privat) dan bukan badan hukum publik, namun berperan seperti badan hukum publik yang merepresentasikan negara dalam mengatur dan memiliki tanah-tanah yang dinyatakan sebagai tanah kasultanan dan pakualamanan. Penafsiran dan kebijakan yang lahir pasca UU No. 13 Tahun 2012 tersebut membuat hubungan antara masyarakat beserta hak atas tanah yang dimilikinya, desa dengan segenap hak dan kewenangannya terhadap tanah, dengan lembaga keraton dan negara menjadi tidak jelas. Maka lebih jauh penulis mengusulkan perlunya dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas UU tersebut.
Noer Fauzi Rachman yang berangkat dari perspektif politik agraria mengajak kita memikirkan proses longitudinal pembentuk perubahan ruang-spasial berupa kekuatan pasar melalui produksi komoditas yang bersifat kapitalistik. Melalui gagasan Meikson Wood tentang pasar sebagai kekuatan pemaksa, alih-alih bekerja secara normal dan alamiah, pemenuhan terus menerus kebutuhan komoditas global itu mereproduksi hubungan sosial yang bersifat menyingkirkan satu sama lain dan secara ekologis bersifat merusak. Telaah ini senada dengan apa yang ditunjukkan oleh Darmanto atas tinjaunnya terhadap buku Land’s End: Capitalist Relations in an Indigenous Frontier karya Tania M. Li. Di bagian akhir jurnal ini, penulis menunjukkan bahwa buku ini berhasil meyakinkan terjadinya pembentukan produksi kapitalistik yang berlangsung dari bawah, apa yang senyatanya terjadi bahwa masyarakat secara aktif terlibat dalam perubahan yang diakibatkan hadirnya komoditas kakao di Lauje, Sulawesi Tengah. Terjadi perebutan tanah antar mereka secara intim yang berlangsung ‘sunyi dan sehari-hari’. Buku ini sekaligus memantik gugatan mengenai adanya kekosongan politik agraria pada konteks terjadinya ‘capitalism from below’ tersebut.
Gambaran optimistik dalam hubungan masyarakat dengan tanahnya disajikan oleh Ahmad Nashih Luthfi dan Surya Saluang. Berangkat dari pandangan Alexander Chayanov yang menaruh perhatian pada kemampuan dan keberlanjutan petani kecil, penulis mengajak melihat komposisi demografis keluarga masyarakat tani, khususnya peran generasi muda mereka dalam pertanian. Kajiannya terhadap dua kasus di dua desa di kepulauan Halmahera dan satu desa di Kulonprogo, Yogyakarta, memperkuat argumen bahwa generasi muda pertanian akan tumbuh ketika segenap akses terbuka luas bagi mereka, yakni berupa tanah, keterlibatan dalam produksi, pasar, pengetahuan pertanian, serta kebijakan pertanian skala rumah tangga.
Tulisan Mujiati dan tulisan ringkas Fisko memiliki kesamaan perhatian mengenai pentingnya peta desa yang memuat data spasial maupun data tekstual (yuridis). Peta desa tidak hanya diperlukan untuk memberi informasi mengenai batas wilayah desa, namun secara lebih dalam semestinya bisa digunakan untuk mengidentifikasi penguasaan-pemilikan tanah masyarakat, sehingga akan dapat diketahuai lebih lanjut ada-tidaknya tanah abseente di wilayah desa tersebut. Kebijakan lanjutan berupa landreform berangkat dari kesiapan peta desa tersebut. Pembuatan peta desa penting dilaksanakan secara partisipatif melibatkan masyarakat, baik sebagai penyupali informasi maupun pelaku pelaksana pembuatan peta dan identifikasi P4T.
Administrasi pertanahan mendapat porsi dalam kajian Priyo Katon Prasetyo mengenai pajak atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan di Magelang. Kebijakan desentralisasi kategori perpajakan ini masih menciptakan kondisi yang tidak sinergis antara pelaksana di pemerintahan kabupaten dengan pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam hal pemungutan pajak maupun penetuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Salah satu fungsi penataan ruang yang utama adalah pengendalian, ini sejalan dengan perubahan perspektif kebijakan lembaga pertanahan yang semula berbasis bidang menjadi berbasis kewilayahan (ruang). Model zonasi adalah salah satu kontrol yang bisa dilakukan dalam mempertahankan wilayah Kotagede Yogyakarta sebagai daerah preservasi budaya. Tulisan yang disajikan oleh Ayu Wahyuningtyas dan Westi Utami ini masih di luar kerangka politik (sesuatu yang semestinya muncul mengingat soal tata ruang adalah soal politik), untuk menguji misalnya keseimbangan antara arus perpindahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan sarana prasarana fisik dengan kebijakan dalam mempertahankan Kotagede sebagai preservasi budaya dimaksud.
Tinjauan teknik pertanahan melalui tulisan Kariyono, Eko Budi Wahyono dan Tanjung Nugroho menelaah bahwa penggunaan Jaringan Referensi Satelit Pertanahan (JRSP) dalam pelaksanaan rekonstruksi batas bidang tanah harus dioptimalkan lebih lanjut di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
Demikian yang dapat kami sajikan untuk para pembaca. Selamat menelaah.