
Ide dan gagasan topik penelitian Sistematis tahun ini (2015) diawali dari sebuah diskusi dan lontaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada saat menghadiri “Kuliah Umum dan Sidang Terbuka Senat Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional” pada tanggal 5 Maret 2015. Menteri ATR/BPN melontarkan persoalan-persoalan yang sedang dikerjakan dan dihadapi oleh lembaga yang membutuhkan respon dan masukan dari berbagai pihak. STPN di sisi lain sebagai salah satu lembaga yang dianggap layak untuk mendapatkan kehormatan dalam memberikan pertimbangan dan masukan yang konstruktif untuk lembaga, khususnya kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan oleh Kementerian ATR/BPN demi kepentingan masyarakat luas. Dari tantangan Menteri ATR/BPN di atas kemudian terjadi diskusi dan dialog panjang yang kemudian dituangkan dalam topik-topik penelitian Sistematis 2015, yakni terkait beberapa kasus yang terjadi di Kementerian ATR/BPN seperti PTPN II, Otorita Batam, Ruilslag Bali, Problem Pengadaan Tanah, Sistem Tenurial Adat, dan satu tema yang secara spesifik diusung untuk kepentingan lembaga STPN yakni Body of Knowledge Ilmu Agraria. Secara spesifik, lembaga menyadari, ada banyak persoalan (konflik) yang terkait dengan tanah dan sudah berjalan puluhan tahun belum berhasil diselesaikan, terutama tentang konflik klaim antar para pihak. Dan kini muncul/potensi persoalan baru sebagai akibat dari masifnya Kementerian ATR/BPN yang menjadi ujung tombak di dalam Pengadaan tanah untuk Kepentingan Pembangunan.
Dari beberapa literatur dan studi yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, persoalan “akut” dalam ranah agraria didominasi oleh pertentangan klaim antara para pihak yang masing-masing memperebutkan hak atas tanah (Afrizal dkk, 2007, Lucas, 2013). Dibanyak tempat muncul berbagai persoalan terkait hal di atas yang diakibatkan dari sebuah proses kebijakan negara, eksploitasi pengusaha, dan persoalan-persoalan yang “diproduksi” oleh sekelompok masyarakat tertentu. Persoalan tersebut tentu harus dilihat secara detail kasus perkasus jika sebuah kebijakan akan diambil. Akan tetapi, detail bukan berarti harus memahamai secara rigit semua persoalan, sehingga menjadi sebuah alasan tidak adanya sebuah kebijakan yang diambil. Setidaknya usaha pemetaan persoalan, pemahaman logika hukum dan masyarakat akan memberikan kemudahan bagi pengambil kebijakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Penelitian/studi yang dilakukan ini digagas dengan tujuan yang jelas, yakni agar negara mampu memberikan keputusan yang jelas dan tegas sekaligus mengantisipasi berbagai potensi munculnya persoalan baru antara negara vs rakyat di dalam setiap kebijakan-kebijakan tentang pertanahan yang dikelurkan. Setidaknya, harapan itu selalu dijaga oleh kampus sebagai pemegang norma dan nilai-nilai yang diilhami oleh nilai dan keadaban masyarakat. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dituntut untuk menjawab sekaligus memproduksi ide dan gagasan cerdas dibidang kajian agraria (penelitian), dan terus mengupayakan mendisain rencana kajian secara komprehensif dalam konteks menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan.
Terkait dengan gagasan dan upaya mencari alternatif solusi penyelesaian, hasil penelitian ini memncoba memetakan di dalam tiga topik (penyelesaian persoalan pertanahan, Sistem Tenurian Adat, dan Body of Knowledge Ilmu Agraria) dengan enam judul penelitian dan mengambil beberapa lokasi penelitian, yakni Batam, Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Tengah, dan Jawa Timur. Pada lima wilayah tersebut telah dilihat berbagai persoalan secara mendalam terkait problem yang muncul di lapangan dengan berbagai pendekatan dan disiplin ilmu.
Pertama, Lokus Batam (Kepri). Penelitian ini terkait konflik penguasaan tanah antara masyarakat adat Pulau-pulau Rempang Galang dengan Otorita Batam/Badan Pengelola Batam. Keterangan masyarakat adat yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat adat Pulau-pulau Rempang Batam (Himat Purelang), mereka telah mengelola tanah tersebut (Tanah Negara) selama puluhan tahun, akan tetapi tidak bisa meningkatkan status tanah olahannya menjadi hak milik. Hal ini menurut klaim masyarakat, di atas tanah tersebut telah terbit HPL untuk Otorita Batam/Badan Pengelola Batam sejak 1993, padahal sebenarnya HPL dimaksud belum pernah dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN.
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa klaim Himad Purelang yang mengaku menguasai dan memiliki tanah, faktanya demikian, akan tetapi di lapangan lokasi klaim tersebut berada di kawasan hutan, sehingga Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN yang selama ini dituntut untuk mengeluarkan sertipikat hak kesulitan, karena secara administrasi dan hukum, kawasan hutan bukan menjadi objek Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Sementara, Kampung Tua yang juga bermasalah, dari bukti dan peninggalan cagar budaya, vegetasi, dan sejarah, keberadaannya sudah ada sebelum terbitnya Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, sehingga masyarakat Kampung Tua yang menuntut tanahnya dikeluarkan dari Hak Pengelolaan BP Batam secara hukum dapat dibenarkan. Untuk konteks ini, Kementerian ATR/BPN bisa lebih jauh menindaklanjuti karena warga faktanya warga masyarakat telah menguasai sebelum terbit HPL sebagaimana dklaim oleh BP Batam. Sialnya, status Kampung Tua masuk areal Hak Pengelolaan yang keputusannya dikeluarkan oleh Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, sehingga otoritas Kementerian ATR/BPN tidak bisa begitu saja mengeluarkan HPL dimaksud.
Beberapa sumber menunjukkan bahwa apa yang diperebutkan antara pihak Otorita dan masyarakat adalah sebuah wilayah dengan status kawasan hutan, dengan demikian dibutuhkan terobosan atau pendekatan lain dalam penyelesaiannya. Sebagian eksisting lahan telah menjadi garapan masyarakat, tentu negara harus segera membantu menyelsaikan dengan pendekatan-pendekatan baru, termasuk menggunakan Keputusan Bersama Empat Menteri Tahun 2014. Yang menjadi persoalan justru keberadaan Batam yang berbeda denga tempat/wilayah lain sehingga tidak mudah untuk menyelesaikan satu persoalan yang terkait pada tiga ranah: BP Batam, Pemda dan Kehutanan, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
Kedua, persoalan di Sumatera Utara. Kasus eks PTPN II adalah persoalan klaim antara masyarakat/penduduk dengan PTPN II, akan tetapi kasus ini dianggap cukup rumit. Menurut beberapa sumber (Afandi, 2013) persoalan mendasarnya adalah klaim masyarakat dan klaim PTPN II di atas tanah yang diduduki oleh kedua belah pihak. Satu sisi, PTPN II mengklaim tanah yang diduduki masyarakat adalah tanah HGU milik PTPN II karena masih dalam status aset PTPN II (Aset BUMN), di sisi lain disebutkan sebagian HGU PTPN II berdiri di atas tanah warga masyarakat yang telah dilepaskan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Situasi ini terus saja berlangusng tanpa penyelesaian, sehingga menimbulkan banyak kerugian termasuk korban jiwa.
Hasil temuan di lapangan menunjukkan, sumber permasalahan konflik perkebunan tanah eks HGU PTPN II dimulai sejak masa kolonial Belanda dimana hak konsesi yang diberikan atas tanah perkebunan tidak diusahakan secara maksimal sehingga di dalamnya terdapat garapan masyarakat, permasalahan semakin meluas ketika Nasionalisasi dilakukan terhadap perkebunan-perkebunan di Indonesia tanpa mengindahkan adanya tanah garapan masyarakat yang ada di dalamnya. Adanya pengeluaran terhadap tanah HGU PTPN II menjadi tanah eks. HGU PTPN II seluas 5873,06 Ha melalui SK Nomor 42,43,44/HGU/BPN/2002 dan SK Nomor 10/HGU/BPN/2004 dengan syarat sebelum dilakukan redistribusi harus ada pelepasan Asset menjadi kendala dan konflik tanah semakin meluas. Hingga saat ini izin pelepasan asset belum keluar sementara okupasi terhadap tanah eks. HGU PTPN II dan okupasi terhadap tanah HGU aktif PTPN II semakin meluas. Terbitnya UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN dan pihak yang terlibat dalam konflik sangat banyak mengakibatkan konflik tidak segera terselesaikan. Benturan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut semakin mempersulit penyelesaian Konflik tanah perkebunan eks. HGU PTPN II.
Hasil temuan lapangan mengatakan, subyek yang terlibat dalam konflik PTPN II sangatlah luas dengan kekuatan sangat besar dan beraneka ragam. Aktor-aktor yang “bermain” meliputi: petani penggarap, masyarakat, developer, kelompok tani, LSM, Karyawan PTPN, Pemerintah, spekulan tanah dan pihak swasta. Faktanya, secara fisik di lapangan obyek tanah eks HGU PTPN II sudah menjadi pemukiman, tanah pertanian, kawasan bisnis, kawasan perdagangan dan kawasan industry. Semua kelompok di atas realitasnya terlibat di dalamnya.
Jalan penyelesaian yang penting dna segera untuk diambil pada tanah bekas HGU PTPN II adalah dengan melakukan koordinasi antar Kementerian dan Lembaga, dimana koordinasi ini dilakukan untuk merumuskan terbitnya Keputusan Presiden khusus menangani konflik Tanah perkebunan eks. HGU PTPN II di Sumatera Utara. Melalui upaya ini diharapkan izin pelepasan asset segera terbit sehingga terhadap tanah eks. HGU seluas 5873,06 Ha dapat segera diredistribusi (sesuai dengan UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN) kepada pihak yang berhak sesuai dengan Keputusan perundang-undangan.
Ketiga, Lokus Bali. Di Bali, muncul sebuah kasus yang berpotensi merugikan negara (Kementerian ATR/BPN) yakni kasus Ruilslag (tukar guling) tanah HP nomor 9/Ungasan antara BPN RI dengan PT Marga Srikaton Dwi Pratama. Persoalan ini murni menjadi ranah kajian hukum sehingga tujuan dari penelitian ini dilakukan untuk menjawab problem konkrit yang dihadapi lembaga dan bagaimana menyelesaikan secara cepat dan tepat. Layaknya studi atas sengekta perkara, studi bertujuan memahami secara persis duduk perkara yang terjadi sekaligus prosesnya serta dengan cara apa atau tindakan hukum apa yang tepat untuk segera diambil agar tidak semakin merugikan para pihak.
Temuan lapangan menunjukkan prosedur dan mekanisme pelaksanaan tukar-menukar HP 09/Ungasan apabila memperhatikan Surat Menkeu No. 350/KMK.03/1994, masih dalam tahap Pra Ruilslag. Status tanah HP.09/Ungasan dari Aspek Keperdataan adalah syah secara hukum dan menuju Tahap Persiapan Ruilslag. Sementara Asset Tanah HP 09/Ungasan adalah milik T.I, mengingat setelah dijadikan objek perkara di Peradilan Umum (Perdata/Pidana) sebanyak 10 perkara sengketa kepemilikan, dinyatakan sebagai milik T.I berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 567/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Sel. tanggal 12 September 2006. Sedangkan prosedur penerbitan Sertipikatnya sah dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan putusan MA RI Nomor Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 08/PK/TUN/2005 tanggal 28 Desember 2005 Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 32.K/TUN/2000 jo. Nomor 132/G.TUN/1999/PT.TUN.SBY jo. Nomor 65/G.TUN/1999/PTUN. Dps.
Kempat, lokus Kalimantan Tengah. Kajian ini pada awalnya ingin melihat persoalan Pendaftaran Tanah di kawasan hutan. Tema ini dianggap penting karena banyaknya wilayah hutan yang sudah diduduki oleh masyarakat namun tidak bisa didaftarkan sebagai hak milik. Akan tetapi kemudian mengalami pergeseran fokus karena untuk masuk ke tema pendaftaran kawasan hutan tidak kalah penting memahami terlebih dahulu sistem tenurial adat yang berlaku bagi masyarakat Adat itu sendiri, dalam hal ini kajian I Gusti Nyoman Guntur, dkk. tentang masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah.
Studi ini menemukan beberapa hal yang menarik yang menjadi bagian dari sistem penguasaan dan pengelolaan tanah bagi masyarakat adat. Penguasaan tanah yang berasal dari hutan primer oleh masyarakat adat Dayak diawali dengan suatu ritual adat. Pembukaan hutan dan pemanfaatannya secara tradisional sehingga muncul hak adat atas tanah yang kemudian diatur dan dilindungi secara hukum. Bagi masyarakat adat Dayak, keberadaan tanah dan hutan merupakan bagian penting dari identitasnya, hal ini tercermin pada pola pemanfaatan tanah secara langsung dan atau melalui pengolahan tanah. Selain sebagai sumber ekonomi, hutan bagi masyarakat Dayak juga merupakan basis kegiatan sosial, budaya, politik dan spiritual guna memenuhi kebutuhan bersama (komunitas) atau kebutuhan individu dan keluarga.
Pada konteks ini, negara telah melakukan klaim atas tanah adat sebagai hutan negara lewat peta dan rencana TGHK 1982 melalui otoritas Kementerian Kehutanan. Klaim ini sudah jelas akan menimbulkan persoalan karena masyarakat adat sebagai sebuah komunitas membayangkan wilayah atau hutan yang dikuasai adalah rumah sekaligus ruang hidupnya. Apalagi penentuan—klaim—hutan negara tanpa melibatkan pemangku kepentingan adat, pemerintah setempat, dan masyarakat lokal. Klaim di atas berpotensi menimbulkan ketidakpastian kawasan hutan dan tenurial (terkait hak-hak legal atas tanah masyarakat adat Dayak) yang selama ini sudah menjadi wilayah penguasaan dan pengelolaannya. Seharusnya, negara secara nyata hadir dalam upaya mendefinisikan ulang ruang hidup masyarakat atas tanah adat dalam kawasan hutan. Dengan begitu diharapkan dapat melahirkan kepastian hukum, kemanfaatan/kemakmuran dan keadilan bagi masyarakat adat Dayak itu sendiri. Dalam nuansa itulah, semestinya negara melindungi dan mempertahankan keberadaan hak-hak ulayat masyarakat adat (Dayak), serta mempermudah implementasi dalam pendaftaran hak atas tanahnya jika hal itu dikehendaki oleh masyarakat adat itu sendiri.
Kelima, Problem Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Tema ini tidak baru, akan tetapi, menjadi strategis dan penting karena gencarnya pembangunan dengan kebutuhan tanah yang besar haruslah secara terus menerus dikontrol oleh semua komponen agar cara-cara yang digunakan oleh negara dalam pembebasan lahan tidak merugikan masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Pada konteks ini, relevansi kajian tidak semata-mata bagaimana melihat produk hukum yang dikeluarkan oleh negara dalam mengatur pengadaan tanah, tetapi juga bagaimana menemukan solusi terbaik dalam setiap pengadaan tanah agar terjadi sebuah proses yang adil bagi para pihak. Negara harus “bertanggung jawab” terhadap nasib warganya pasca pengadaan tanah. Problem ini seiring sejalan dengan kendala yang dihadapi birokrasi dalam pengadaan tanah yang mengalami keterlambatan dalam pembebasan lahan, sehingga terkadang jalan pintas diambil untuk memudahkannya.
Persoalan utama dalam temuan penelitian ini adalah kendalam pelaksanaan sebagai akibat dari beberapa persoalan yang mendasar, dari mulai pemahaman masyarakat tentang pembebasan lahan, sosialisasi yang masih menjadi problem primer, kerja-kerja birokrasi yang mengalami pelambatan akibat sistem kerja yang tidak fungsional, ganti rugi, dan problem pasca pembebasan. Dari keseluruhan problem di atas, akibat yang ditimbulkan adalah pelambatan pada semua proses dalam pembebasan lahan yang berakibat pada melambatnya target-target pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah.
Keenam, Merumuskan Body of Knowledge Ilmu-ilmu Agraria. Setelah tahun lalu (2014) memulai pemetaan dengan penelitian “Ilmu Agraria Lintas Disiplin”, tahun ini melajutkan dengan titik pijak yang sama, yakni upaya merumuskan Body of Knowledge Ilmu-ilmu Agraria. Penelitian ini dianggap penting karena berbagai kajian dan telaah yang dilakukan oleh para peneliti meyakinkan STPN bahwa penting untuk merumuskan apa sebenarnya ilmu agraria itu dan bagaimana cara kerjanya. Kajian ini dianggap sangat urgent bagi kebutuhan kelembagaan STPN yang secara terus menerus dan konsisten melakukan penelitian-penelitian di bidang agraria. Kerja-kerja akademis tersebut dianggap penting bagi lembaga agar rumpun ilmu agraria bisa dilihat secara jelas sebagai ilmu atau bagian dari cabang ilmu lain. Merumuskan kajian tersebut dianggap sebagai keharusan agar STPN beridri di atas fondasi pengetahuan yang kokoh.
Pentingnya body of knowledge karena ia dianggap sebagai fondasi untuk meletakkan sebuah profesi berdasar atas pengetahuan, keterampilan, dan pendidikan. Greenfeld J (2010) menyatakan bahwa body of knowledge profesi perlu dirumuskan karena akan dapat: (1) untuk merumuskan ruang lingkup profesi, (2) mendapat pengakuan untuk keperluan pendidikan tinggi, (3) untuk kepentingan bisnis, dan (4) untuk pengembangan beasiswa profesi, (5) untuk mempromosikan profesi, dan (6) untuk pembeda kontribusi substantif. Keempat faktor pertama merupakan faktor internal sedangkan sisanya merupakan faktor eksternal.
Demikian secara singkat gambaran hasil dari laporan penelitian Sistematis 2015 yang kami sajikan dalam bentuk publikasi buku yang dapat diunduh melalui tautan berikut