It's better to be the only one, rather than the number one

Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria (LiBBRA) Tahun 2014

Kebijakan Konsolidasi Tanah untuk Kesejahteraan Masyarakat di

Kawasan Bencana dan Non-Bencana

LINGKAR BELAJAR BERSAMA AGRARIA (LiBBRA)

PPPM-STPN, 11-12 Maret 2014

 

A. Pendahuluan

Dalam Peraturan Kepala BPN No Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah dijelaskan bahwa konsep konsolidasi tanah adalah kebijaksanaan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan (kini mendapat penekanan untuk “kepentingan umum”). Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Pada hakikatnya

konsolidasi tanah adalah penataan tanah yang dilengkapi dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Alasan diadakannya konsolidasi tanah adalah untuk membantu pemerintah daerah menata bagian wilayahnya yang tidak teratur sesuai Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan Daerah. Penyelenggaraan konsolidasi lahan di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1986 di beberapa wilayah seperti di Renon Bali, Samarinda, Solo, Yogyakarta, Semarang dan Sumatera Barat. Projek konsolidasi tanah di Bali dilakukan di kawasan pinggiran kota, yang semula sebuah wilayah pertanian dan kini menjadi wilayah elite perkantoran. Pasca konsolidasi tersebut pasar tanah di Renon menjadi tinggi (mahal) karena wilayah itu dilengkapi dengan beberapa fasilitas dan berubah menjadi kawasan yang ramai (Kanwil BPN Bali, tt)[1]. Nilai ekonomi sementara ini masih menjadi argumen utama dari pelaksanaan konsolidasi tanah.

Belajar dari beberapa pengalaman, konsolidasi tanah lebih banyak dilakukan untuk menata sebuah wilayah pasca bencana, mengingat bencana telah mengubah struktur wilayah, sosial, dan ekonomi sehingga perlu ditata kembali agar tanah kembali memiliki manfaat secara optimal, efisien, dan produktif, disertai dengan terdaftarnya tanah yang memberi bukti kepastian hak bagi para pemegangnya. Selain itu konsolidasi tanah dimaksudkan untuk menata lingkungan agar menjadi berkualitas, teratur, dan rapi.

 

B. Antara Konsolidasi Masyarakat dan Konsolidasi Modal

Lebih jauh, konsolidasi tanah juga dapat dilihat sebagai pembentukan ulang ruang geografis untuk pertumbuhan investasi. Ia tidak hanya berarti penataan ulang penggunaan dan pemanfaatan tanah, tetapi juga pembentukan ulang hubunganhubungan sosial-ekonomi secara luas dan hubungan manusia dengan tanah (sumber daya agraria). Dalam konteks bencana, perspektif ini membawa cara baca mengenai hubungan antara pertumbuhan modal dengan bencana, atau diistilahkan dengan “disaster capitalism” sebagai ekonom baru mengenai malapetaka (the new economy of catastrophe) (Naomi Klein, 2007). Proyek rekonstruksi pasca bencana dan pembentukan ruang baru oleh investasi yang menyertainya adalah bentuk baru ekonomi negara maupun swasta. Menempatkan kegiatan konsolidasi tanah di dalam konteks arah pertumbuhan kapital tersebut harus hati-hati sebab penuh resiko dibanding jika dilaksanakan pada sebuah wilayah dengan situasi normal, karena tak jarang sesuatu yang sebelumnya menjadi milik publik berubah menjadi privat. Belajar dari bencana yang terjadi di Aceh pasca sunami misalnya, proyek konsolidasi tanah dinilai membuka peluang spekulasi tanah sebab dijumpai banyak pihak yang sebelumnya tidak memiliki tanah di wilayah tersebut kemudian bisa memilikinya, dan begitu pula sebaliknya (Abdul Jalil, dkk 2008) Persoalannya tidak sekedar perubahan status dan kepemilikan namun juga prosesnya yang jauh dari community driven adjudication (CDA) sebagaimana satu proyek yang dijalankan di sana oleh Bank Dunia bernama  Reconstruction of The Aceh Land Administration System.Pelibatan komunitas setempat sangat penting agar kegiatan berhasil jauh lebih berkualitas seperti yang diinginkan, dan yang lebih utama adalah pengakuan terhadap hak-hak agaria mereka. (Suraya Affif 2010).

Konsolidasi tanah di wilayah pasca bencana juga menghadapi kerumitan klaim dan persepsi atas makna tanah dan bencana itu sendiri, antara pihak pemerintah, masyarakat, dan pemodal. Tinggal di kawasan rawan bencana bagi sebagian orang dan pemerintah mungkin dianggap sebagai satu keputusan yang kurang logis, namun berbeda halnya dengan masyarakat setempat yang telah hidup dan bertempat tinggal di wilayah ini selama berpuluh-puluh tahun lamanya dan mengembangkan system kebudayaan, produksi, dan ekologi mereka di wilayah tersebut. Tanah dan mungkin rumah yang dianggap tidak lagi layak dihuni karena masuk dalam kategori “rawan bencana”, tidak cukup menghapuskan keterikatan mereka dengan tanah peninggalan leluhur atau nenek moyangnya. Kondisi serupa inilah yang kerapkali berbenturan dengan logika kebijakan pemerintah. Kembali yang diharapkan adalah sebuah solusi yang harmoni, tidak untuk dipaksa pergi, tapi bisa bersinergi, hidup berdampingan dengan aman damai.

Pendekatan baru bahwa konsolidasi tanah menempatkan masyarakat sebagai objek sekaligus subjek bukan suatu yang mudah. Beberapa pengalaman konsolidasi tanah di perkotaan seperti Surakarta, Sumatera Barat, dan wilayah lainnya perlu dilihat sebagai kajian komparasi, agar bisa dipahami semua proses-proses yang terjadi di lapangan. Penting juga melihat bahwa dukungan dan peran pemerintah daerah dan pemerintahan desa dalam mendukung keberhasilan konsolidasi tanah. Hal ini mengingat konsolidasi tanah sebenarnya adah soal “tata ruang” berupa pengelolaan wilayah daripada “administrasi pertanahan” berupa legalisasi aset, maka semestinya ia tidak hanya diatur oleh, misalnya, Peraturan Kepala BPN yang mengikat secara internal institusi BPN saja, namun oleh regulasi yang lebih tinggi di atasnya. Pengalaman konsolidasi tanah di perkotaan Surakarta misalnya, menegaskan hal ini. Kesuksesannya tidak terlepas dari dukungan mulai dari lurah hingga walikota. Artinya, kehendak bersama jauh memudahkan kerja-kerja konsolidasi tanah, apalagi konsolidasi tanah yang berangkat dari kehendak warga masyarakat.

Menyadari kompleksitas di atas, maka saat ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sedang melakukan revisi atas Peraturan Kepala Badan N0. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah. Oleh karena itu menjadi penting diskusi  mengenai konsolidasi tanah dibuka kembali dengan melakukan bacaan teoritis-kritis atas kebijakan tersebut, kajian komparatif atas pelaksanaan sukses di beberapa daerah, agar dapat dirumuskan bentuk regulasi dan kebijakan macam apa yang lebih memberi jaminan bagi hak-hak agraria masyarakat untuk keberlanjutan ekologis, produksi, dan kebudayaan mereka.

Forum LiBBRA ini diharapkan dapat mengumpan gagasan-gagasan yang secara khusus bermanfaat untuk melakukan revisi Perkaban tersebut atau mengusulkan regulasi lebih tinggi di atasnya.

C. Tujuan Kegiatan

Adapun tujuan utama kegiatan LiBBRA ini adalah:

1)      Memberi masukan untuk penyempurnaan Peraturan Kepala BPN 4 Tahun 1991,

2)      Mempelajari secara komparatif pelaksanaan konsolidasi tanah di berbagai area, aktor, dan kepentingan,

3)      Memberi telaah (akademis) terhadap program konsolidasi tanah pasca bencana di Merapi.

 D. Penyelenggara, Tempat dan Waktu Kegiatan

LiBBRA diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPPM) Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN). Adapun kegiatan ini akan diselenggarakan selama dua, tanggal 11-12 Maret 2014, di Ruang Sidang PPPM STPN, Yogyakarta.

E. Konsep Kegiatan

LiBBRA hadir sebagai media belajar bersama dari tiga kelompok, yakni akademisi, birokrasi, peneliti, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Semangat yang ingin dibangun adalah mengupayakan secara maksimal berbagai peran yang dimiliki oleh berbagai pihak agar mampu menjadi partner yang saling bersinergi dan mendatangkan manfaat. Diharapkan dari forum tersebut lahir pemikiran-pemikiran bernas yang bagi Badan Pertanahan Nasional RI.

 Setiap peserta akan diberikan bahan dan wajib dipelajari dan kemudian didiskusikan secara bersama-sama dengan narasumber/fasilitator pada saat kegiatan berlangsung. Oleh sebab itu materi akan tersedia 2 minggu sebelum pelaksanaan kegiatan, agar dapat dibagi kepada peserta.

F. Peserta

Kegiatan ini akan diikuti oleh peserta lebih kurang 50 orang, terdiri dari unsure akademisi (dosen dan mahasiswa), peneliti, birokrasi, dan LSM.

G. Narasumber

Kegiatan direncanakan akan menghadirkan 8 narasumber:

1)      Ir. Sriyatno, M.M. (Direktur Konsolidasi Tanah BPN RI

2)      Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S. (Ketua STPN)

3)      Lilies Mulyani, S.H., LL.M. (PMB-LIPI)

4)      Suraya Afif, Ph.D. (Pusat Kajian Antropologi UI)

5)      Laksmi A. Savitri Ph.D. (Pengajar Antropologi UGM)

6)      Sarjita, S.H., M.Hum. (Dosen STPN)

7)      Julius Sembiring, S.H., MPA. (Dosen STPN)

8)      Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc. (Pusat Studi Bencana UGM)

9)      Muh. Nurrochmawardi, S.T. (Kasi Pengembangan Perumahan DPUP Kab. Sleman)

10)  Arkom Yogyakarta

H. Agenda Acara

Jadwal LiBBRA dapat di download disini

I. Referensi

Bahan referensi yang terkait dengan tema LiBBRA “Kebijakan Konsolidasi Tanah untuk Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Bencana dan Non-Bencana” dapat didowload pada daftar di bawah ini 

1. Lilis Mulyani, dkk. 2013. Laporan Diseminasi CSSI Agraria PPAN di Surakarta Download
2. Suraya Afif. 2006. Impacts of the Implementation of Reconstruction of the Aceh Land Administration System (RALAS) Project on Customary Land Rights Institution Download
3. Oloan Sitorus. 2006. Aspek Hukum Konsolidasi Tanah Download
4 Laksmi A. Savitri, Korporasi & Politik Perampasan Tanah, Yogyakarta: Insist, 2013 (atau versi awal) Download
5. Naomi Klein. 2007. The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. Knopf Canada (bab Introduction; hlm 66-71 untuk kasus Indonesia, dan Part 7). Download
6. Naomi Klein. 2007. Disaster Capitalism, The new Economy of Catastrophe. Harper’sMagazine, October. Download
7. Sudjito. Kajian Yuridis Administratif Implementasi Program Konsolidasi Tanah Perkotaan Di Ungaran Download

[1] Anonim,  Masyarakat Untung, Negara Untung, Lingkungan Tertata. Konsolidasi Tanah Sebagai Instrumen Penyediaan Tanah untuk Pembangunan, tt.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *
*

Related Story